Senin, 09 Mei 2011

Mendaki Cinta (belum sempurna)

BAB 1
LANGKAH PERTAMA DI MATAHARI PAGI


Sehari sebelum berangkat ke Gunung Telomoyo, Delfi mencari data tentang gunung ini di internet. Rasa ingin tahu menggerakkannya untuk dapatkan informasi tentang keberadaan gunung itu. Dari berbagai sumber yang ia dapat, Gunung Telomoyo adalah gunung yang terletak di wilayah Kabupaten Semarang dan Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Gunung ini memiliki ketinggian 1.894 meter di atas permukaan laut dan merupakan gunung api yang berbentuk strato atau kerucut, tetapi belum pernah tercatat meletus. Gunung ini bisa terlihat dari kota-kota sekitar, seperti Salatiga, Ambarawa, dan Secang, Magelang. Banyak pemandangan yang ditawarkan ketika kita berhasil ke puncak gunung Telomoyo ini. Di sisi selatan gunung ini terdapat Gunung Merbabu yang megah, di sisi timur bisa melihat matahari terbit di pagi hari dan matahari terbenam di sisi barat, lalu di sisi utara bisa melihat Danau Rawa Pening dan pemandangan Gunung Ungaran.


Pengetahuan tentang medan yang akan ditempuh memang sebuah keharusan bagi para petualang yang hendak melakukan perjalanan. Setidaknya agar mempunyai sedikit bekal pengetahuan tentang penanggulangan jika terjadi bahaya sewaktu-waktu. Rencananya pagi ini Delfi akan pergi melihat matahari terbit di Gunung Telomoyo bersama tiga sahabatnya. Suara alarm terdengar keras dari telepon genggam yang ia taruh di atas meja belajarnya, itu pertanda ia harus terjaga, karena waktu menunjukkan sudah pukul 03.30. Segera Delfi bangkit dari kasurnya dan mengambil telepon genggamnya untuk mengirim pesan ke tiga sahabatnya.

Bro, bangun!! Kita berangkat ke Telomoyo.

Janjinya mereka akan berkumpul di kos Delfi untuk start keberangkatan. Sambil menunggu ke tiga sahabatnya datang, Delfi beranjak ke kamar mandi yang berada di dalam kamar kosnya untuk sekedar cuci muka dan sikat gigi. Dirinya tak sabar melihat keindahan alam yang diceritakan Angga temannya di kampus dua Minggu yang lalu. Kata Angga Gunung Telomoyo itu bisa ditempuh dengan kendaraan, baik roda dua atau roda empat karena jalan menuju puncak memang sudah beraspal.

Setelah cuci muka dan sikat gigi, Delfi keluar kamarnya untuk melihat suasana pagi ini di luar kamar. Cuaca yang bagus, langit di atas Salatiga tampak cerah dengan bintang-bintang menghiasi. Delfi senang melihat langit dari luar kamarnya, dia yakin pagi ini akan sesuai dengan rencana. Selang 30 menit setelah dia terjaga dari tidurnya, dua motor tiba di kosnya. Satu motor berboncengan antara Kristian dengan Alan, sedangkan Satrio sendiri.

“Pagi bro, siap ke Telomoyo?” kata Satrio yang tampak semangat setelah mesin Yamahanya dimatikan. Satrio adalah seorang yang humoris....

“Siap dong. Ayo langsung berangkat lah, biar nggak kesiangan sampai di sana. Tapi sebentar ya, gue ganti pakaian dan ambil kamera dulu.”

Delfi masuk ke kamarnya untuk berganti pakaian lalu mengalungi Nikon D3000 yang baru dibelinya bulan lalu, mencari gambar bagus menjadi salah satu tujuannya. Kemudian ia menuju garasi untuk mengambil motornya namun Satrio mencegah.

“Eh Del, lu boncengan sama gua aja lah. Biar nggak banyak motor. Tapi lu boncengin gua ya?”

“Oh ya udah kalau begitu. Masalah bensin biar gua nanti” kata Delfi, lalu menghampiri Satrio.

****

Setelah melewati Kopeng, perjalanan mereka terhenti di sebuah pintu gerbang, ada pos di sebelahnya dengan tulisan “pos pendataan” di dinding bagian kiri pos tersebut. Sewajarnya memang melakukan pendataan sebelum perjalanan diteruskan, tapi aneh di pos tersebut tidak ada orang sama sekali. Delfi dan ketiga temannya berdiskusi sejenak.

“Gimana nih?” kata Satrio.

“Udah, lanjut saja”, kata Alan meyakinkan ketiga temannya.

“Gak masalah nih Al?” tanya Satrio, ragu.

“Gak masalah kok, kata kakak ku memang begitu kalau subuh. Jarang ada yang jaga di pos pendataan,”

“Oh ya sudah, ayo kita lanjutkan perjalanan”, kata Delfi. Mereka semua percaya dengan apa yang dikatakan Alan, karena Alan dibesarkan di Salatiga, ia tampak lebih berpengalaman dari ketiga temannya.

Ternyata jalan aspal menanjak dari Salatiga menuju Kopeng hanya sebuah awal dari Jalan aspal yang lebih menanjak lagi, bahkan bisa terbilang terjal. Delfi dan Kristian yang bertugas sebagai supir berusaha keras mengendalikan motor agar tidak terjungkal, terlebih ditambah dengan kegelapan di sekitar jalan menambah nilai kesulitan yang harus mereka hadapi. Pemandangan di sebelah kanan ada tebing yang tinggi, sedang di sebelah kiri adalah jurang yang dalam, pohon pinus tinggi gagah berdiri disertai semak belukar menghiasi perjalanan mereka menuju puncak. “Motivasi yang tinggi mengalahkan segala rintangan,” kata Delfi dalam hati. Sambil mereka fokus menghindari rintangan kerikil-kerikil di badan jalan yang membahayakan keselamatan, langit di atas mereka terjadi gradasi warna biru tua kehitaman menjadi biru muda, pertanda siang hari akan segera tiba. Angin gunung berhembus membawa hawa dingin, jauh lebih dingin dari ruangan yang dilengkapi oleh air conditioner. Bulan sudah tidak terlihat sejak beberapa jam yang lalu, hanya bintang kejora muncul di langit timur yang sesekali terlihat karena pemandangan langit timur terhalang oleh pepohonan.

“Fiuh”

Akhirnya semangat juang mereka menuai hasil, titik tertinggi dari Gunung Telomoyo sudah mereka capai. Puas, kata itulah yang terpancar dari ekpresi wajah mereka. Langit sudah mulai terang, di sisi timur sebuah titik kuning keemasan muncul menerangi sekitarnya. Di sini suara angin terdengar seperti orang yang sedang bersiul. Mata Delfi menatap sejauh mata memandang, jantungnya berdegup keras seperti ada yang memukul-mukul di bagian dadanya. Ingin rasanya berteriak menumpahkan kegembiraan. Delfi sangat kagum dengan pemandangan yang baru ia lihat pertama kali seumur hidup.

“WAW, KEREN BANGET.” Kata Delfi sambil teriak.

“Gila ya, ini tempat keren banget.” Alan menimpali.
Cepat-cepat Delfi mempersiapkan kameranya untuk mengabadikan momen ini.

“Saatnya sesi foto teman-teman.” Teriak Kristian.

“Wah keren nih view’nya buat dipajang di Facebook,” timpal Satrio. Jiwa muda mereka larut dalam rasa puas.

Delfi menjadi sibuk dengan kameranya, mata dan tangan Delfi membidik sasaran gambar detik-detik matahari terbit menguasai siang hari. Alan dan Kristian juga tak kalah sibuknya, mereka tak mau sia-siakan kesempatan mengambil gambar dengan kamera Nokianya, dan Satrio menjadi fotografernya. Sayang, puncak Gunung Merbabu tidak terlihat karena kabut tebal sudah menyelimutinya, sepintas ada keinginan di hati Delfi untuk mendaki gunung itu. Gunung yang setiap hari terlihat megah dari Salatiga jika cuaca di sana sedang baik.

“Sat, markas Mapala kampus kita di gedung apa sih?” tanya Delfi kepada Satria.
Satria yang sedang memfoto kedua temannya menoleh ke arah Delfi, “Di gedung Lembaga Kemahasiswaan Universitas Del. Memang kenapa tanya markas Mapala, mau gabung lu?”
“Iya nih, ingin jadi pencinta alam,” jawab Delfi singkat.

Konon tokoh pewayangan Hanoman berdiam diri di Gunung ini, untuk mengawasi Dasamuka musuhnya, yang ia kubur di kawah Gunung Ungaran. Hal ini membuat Delfi bertanya-tanya, “Apa benar tentang cerita itu?”. Benar atau tidak, cerita rakyat hanyalah sebuah cerita yang belum tentu benar keberadaannya. Delfi tidak begitu percaya, karena ia hanya mempercayai sesuatu yang bisa diterima oleh panca indera dan sesuatu itu bisa dibuktikan secara nyata.

Sedang asyik mengambil gambar dengan kameranya, Delfi teringat oleh Windi sahabat kecilnya, yang suka sekali melihat pemandangan alam liar. Windi pernah cerita tentang pengalaman menariknya melihat matahari terbenam di Pantai Kuta, setelah itu ia ingin sekali melihat matahari terbit di atas gunung. Lalu terpikirkan oleh Delfi untuk mengirim pesan ke sahabat yang selama ini sudah mendengar keluh kesahnya dalam petualangan cintanya.

Aku lagi di Telomoyo nih, matahari terbitnya eksotis banget.


Ih curang kok gak ajak aku? Pokoknya kamu harus ajak aku ke sana.
Reply dari Windi.

Kapan2 ya aku ajak kamu ke sini, JANJI.

Windi dan Delfi begitu akrab dengan kemanjaan. Mereka memang sahabatan sejak kecil, dibesarkan di kota yang sama, kota Tangerang. Keduanya saling kenal sejak Pak Bowo ayahnya Delfi menjalankan bisnis rumah makan bersama dengan Pak Firman ayahnya Windi di kawasan Serpong Tangerang. Saat itu Delfi berusia sepuluh tahun dan Windi sembilan tahun, namun dalam bersekolah mereka tetap satu angkatan. Delfi dan Windi pun sering bertemu jika orang tua mereka mengadakan pertemuan guna membahas bisnis orang tua mereka. Hubungan keluarga Delfi dan keluarga Windi menjadi akrab, sampai-sampai ada rencana terselubung dari kedua keluarga tersebut untuk menjodohkan kedua anak mereka kelak, namun hal ini tidak diketahui Delfi maupun Windi. Ketika memasuki masa SMA, Windi mengajak Delfi untuk sekolah di tempat yang sama. Walaupun akhirnya mereka berada di kelas yang berbeda, tak jarang Windi meminta Delfi untuk mengantarnya pulang atau sekedar jajan bareng saat istirahat. Delfi menganggap Windi seperti adiknya sendiri begitu juga dengan Windi yang menganggap Delfi seperti kakak laki-lakinya, oleh karena itu Windi bisa begitu manja dengan Delfi. Hubungan Delfi dan Windi ini juga pernah menjadi penyebab ngambeknya Meli pacar pertama Delfi, Meli cemburu dengan sikap Windi kepada Delfi. Namun sekarang, mereka sudah satu tahun berpisah kota, karena melanjutkan studi di kota yang berbeda, Delfi ke kota Salatiga, dan Windi ke kota Jogja.

Matahari semakin bergerak ke atas, suhu udara meningkat seiring bertambahnya sinar panas yang terpancar ke bumi. Bukan ide bagus jika tetap berada di sana. Delfi memutuskan untuk mencari spot lain untuk berfoto-foto.

“Guys, kita cari tempat lagi yuk.” Ajak Delfi kepada tiga sahabatnya.

Ajakan Delfi langsung disetujui tiga sahabatnya, mereka pun berlalu mencari spot yang bagus untuk pengambilan gambar hingga rasa puas berganti dengan lelah dan memutuskan untuk pulang ke tempat tinggal mereka masing-masing.

Dalam bayangku, cinta adalah seindah alam ini
Jika dirawat dengan baik, akan menghasilkan sinergi yang membuat hati ini nyaman berada bersamanya

Selasa, 19 April 2011

Lentera Jiwa-ku

Berawal dari kerinduan saya mendengarkan lagu Lentera Jiwa yang dibawakan oleh Nugie, lalu saya berpikir tentang arti dari lagu ini. Apa sih yang ingin Nugie sampaikan dalam lagu ini? Yang saya tahu Nugie bukanlah musisi sembarangan yang asal membuat lirik dan dijadikan sebuah lagu, pasti ada makna dibalik lagu tersebut. Kemudian pencarian saya berlanjut ke Youtube, di sana saya menemukan video clip Nugie sendiri, saya terkesan dengan cerita dari video clip itu. Video clip tersebut menceritakan tentang pekerjaan atau profesi yang berkaitan dengan kegemaran, bukan hanya berkaitan dengan jurusan (dalam perkuliahan) yang sedang kita ambil. Apa yang kita gemari itu bisa menjadi mata pencaharian kita, profesi kita, begitulah yang saya tangkap dari makna video clip Nugie yang berjudul Lentera Jiwa di Youtube. Namun rasa penasaran saya akan pencarian makna “lentera jiwa” tidak berhenti sampai di situ, saya membuka link website yang Nugie tampilkan di akhir video, yaitu “lenterajiwa.com”.

Dalam tampilan home nugie mengatakan, “LENTERA JIWA adalah PASSION. Hal yang sangat kita sukai. Suatu pekerjaan atau kegiatan yang menimbulkan kepuasan tersendiri bagi kita, meski sering kali menguras waktu dan tenaga. Itulah LENTERA JIWA kita. Apakah kamu sudah menemukan LENTERA JIWA-mu?”. Saya pun berpikir, sudah atau belum ya? Ternyata pertanyaan itu membutuhkan kontemplasi, dan hasil dari kontemplasi saya, saya menjawab sudah. Saya siap menjadi pengajar jika saya lulus dari Fakultas Psikologi UKSW nanti. Bagaimana dengan mu?

Jumat, 15 April 2011

Keluarga

Papa dan Mama
Perjuangan mereka sangatlah menakjubkan bagiku, mereka adalah orang terhebat yang aku kenal selama aku hidup, karena merekalah hari ini aku ada. Mereka adalah pahlawan sejatiku. Aku bangga dengan cita-cita mereka, yang menginginkan generasi penerusnya lebih bahagia dari kehidupan mereka saat ini. Dari mereka aku belajar hidup sederhana, dengan falsafah hidup “makan untuk hidup, bukan hidup untuk makan”.

Mereka sangatlah kompak dalam mendidik anak-anaknya, dengan otoritas yang membebaskan aku (mungkin juga kakakku) untuk menggunakan seluruh kemampuanku dalam meraih masa depan. Karena kebebasan yang mereka berikan, aku belajar untuk bertanggung jawab atas hidupku. Mereka adalah pendukung sejatiku. Mereka menjadikan aku berharga sebagai harapan mereka. Ya, aku adalah harapan. Berjuang bukan lagi sebuah pilihan bagi ku, namun sebuah keputusan yang sudah aku ambil sejak aku mencintai mereka.

Kakak
Dahulu, aku dan kakakku adalah petarung yang tidak tangguh. Pertarungan antara aku dan kakakku sering terkesan tidak seimbang karena perbedaan fisik di antara kami, sehingga selalu berakhir dengan tangisan keras dari ku yang berharap bahwa orang lain akan segera menghukum kakakku karena telah membuat aku menangis. Aku memang selalu kalah dalam bertarung, namun ledakan kebencianku pernah membuatnya menangis dan pendarahan pada tangannya karena lemparanku berhasil menggores luka yang hebat, setelah itu aku merasa bersalah. Kakakku aku nobatkan sebagai orang “ternakal” hingga aku berusia 13 tahun. Entahlah apa yang membuatnya menjadi seperti itu. Namun kondisi kanak-kanak seperti itu telah berubah total dari keadaan kami sekarang ini.

Nama kakakku, Bagus Pangestu Arie Bowo. Usianya tiga tahun lebih tua dari ku. Aku mulai mengaguminya sejak kami berhenti bertengkar di usiaku yang ke 15. Karena sejak aku lahir, reputasinya tidak terlalu baik sebagai seorang kakak di mataku. Namun ia berhasil mengubahnya dengan respons-respons cinta storge sebagai seorang kakak yang bertanggung jawab. Terlebih ketika aku memasuki masa kuliah, yang mengharuskan ku untuk pergi dari kota kami dibesarkan. Perubahan positif yang mampu mengubah reputasinya menjadi kakak yang hebat bagi ku.